Oleh: Allama Zaki Almubarok

Lari kini bukan sekadar olahraga kardio, melainkan telah bertransformasi menjadi gaya hidup dan konten media sosial. Di Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya, linimasa media sosial kita sering dipenuhi tangkapan layar dari aplikasi pelacak olahraga (seperti Strava, Garmin, atau Nike Run Club). Data seperti Pace (kecepatan), Heart Rate (detak jantung), dan Jarak Tempuh (KM) dipamerkan sebagai bentuk pencapaian. Hal ini tentu positif untuk motivasi. Namun, ada sisi gelap yang sering tidak disadari yaitu Tekanan Sosial Digital. Bagi orang awam atau mereka yang jarang berolahraga, melihat teman memposting lari 10 KM dengan Pace 4 atau 5 (sangat cepat) seringkali menjadi trigger (pemicu) psikologis. Timbul keinginan impulsif untuk menyamai angka tersebut agar terlihat “keren” atau “mampu”, tanpa sadar bahwa kemampuan fisik setiap orang berbeda jauh.

Euforia digital ini berbahaya jika tidak dibarengi dengan pemahaman fisiologis tubuh. Berikut adalah rangkuman risiko medis akibat memaksakan diri demi angka di media sosial.

Jebakan “Flexing” Statistik dan Risiko Medis

Banyak pemula terjebak membandingkan “Bab 1” mereka dengan “Bab 20” orang lain. Mereka yang memposting pace kencang mungkin sudah berlatih bertahun-tahun. Saat pemula dengan gaya hidup sedenter (kurang gerak) tiba-tiba mencoba meniru angka tersebut:

  1. Bahaya Lonjakan Pace (Kecepatan)
    Seseorang yang kemampuan alaminya berada di Pace 8 atau 9 (jogg santai), namun memaksakan diri berlari di Pace 4 atau 5 karena “terpanas” melihat postingan orang lain, sedang menempatkan jantungnya dalam bahaya. Jantung dipaksa memompa darah 2-3 kali lebih cepat secara mendadak. Pada tubuh yang tidak terlatih, ini memicu iskemia (kekurangan oksigen) pada otot jantung yang bisa berujung pada Henti Jantung Mendadak (Sudden Cardiac Arrest), terutama jika ada kelainan jantung tersembunyi.
  2. Mengabaikan Heart Rate (HR) Maksimal 
    Aplikasi lari sering menampilkan zona Heart Rate. Kesalahan fatal pemula adalah berlari terus-menerus di zona merah demi mengejar pace cepat. Setiap orang memiliki batas Detak Jantung Maksimal (Maximum Heart Rate/MHR).
  • Rumus Kasar: 220 dikurangi Usia.
  • Contoh: Jika Anda berusia 30 tahun, MHR Anda ±190 bpm.
  • Zona Aman: Lari sehat sebaiknya di 60-75% MHR (sekitar 114-142 bpm).
  • Zona Bahaya: Jika Anda lari hingga HR menyentuh >90% (misal: 175-180 bpm) dalam durasi lama tanpa latihan, risiko kolaps meningkat drastis.
  1. Cedera Muskuloskeletal
    Otot, tendon, dan tulang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk beradaptasi dengan beban lari. Memaksakan jarak jauh atau lari cepat secara tiba-tiba dapat menyebabkan Shin SplintsStress Fracture (retak tulang halus), hingga Rhabdomyolysis (kerusakan otot akut yang merusak ginjal).

Rekomendasi: Run Your Own Race

Jangan biarkan algoritma media sosial mendikte kesehatan jantungmu. Berikut panduan lari yang aman:

  • Pahami Kemampuan Diri: Jika pace nyaman Anda adalah jalan cepat atau lari kecil (Pace 9-10), lakukanlah dengan bangga. Itu tetap menyehatkan jantung.
  • Filter Media Sosial: Sadari bahwa apa yang diposting orang lain adalah hasil latihan panjang mereka. Jangan jadikan statistik orang lain sebagai standar latihan hari pertama Anda.
  • Pantau Nadi, Bukan Pace: Saat lari, lebih baik fokus melihat Heart Rate di jam tangan daripada melihat Pace. Jika nadi sudah terlalu tinggi (dada sesak, napas pendek), berjalanlah. Tidak ada yang salah dengan berjalan kaki.
  • Mulai Bertahap: Gunakan metode Walk-Run (Lari 1 menit, Jalan 2 menit). Tingkatkan jarak maksimal 10% setiap minggunya.
  • Skrining Kesehatan: Terutama bagi pria >35 tahun atau memiliki riwayat hipertensi/obesitas, sangat disarankan cek rekam jantung (EKG) sebelum memulai rutin lari intensitas tinggi.

Ingat, garis finis terbaik adalah sampai di rumah dengan selamat, bukan sekadar angka cantik di layar ponsel. Listen to your body, not your social media feed.

Keyword: Lari, Strava, Pelari Kalcer, Kuliah Keperawatan, Yogyakarta

Referensi:

  1. American Heart Association. (2023). Target Heart Rates Chart. AHA Journals.
  2. De la Haye, K., et al. (2017). The contagion of physical activity behavior in social networks. PloS one, 12(3). (Studi tentang pengaruh jejaring sosial terhadap aktivitas fisik).
  3. Kim, J. H., Malhotra, R., Chiampas, G., dkk. (2012). Cardiac Arrest during Long-Distance Running Races. New England Journal of Medicine.
  4. Vina, J., et al. (2012). Exercise acts as a drug; the pharmacological benefits of exercise. British Journal of Pharmacology.